Setengah Januari gue habiskan dengan bedrest. Bukan, bukan karena lagi trimester pertama, tapi karena cedera otot tulang kering. Ini sesuatu yang gak pernah sedikitpun terlintas di daftar kekhawatiran gue seumur hidup.
Banyak orang nanya, “kok bisa?”, gue pun bertanya hal yang sama. Setelah ngeliat ke belakang, rasa-rasanya gue tau kenapa ini bisa terjadi.
Selasa, 16 Januari
Lagi ada workshop 3 hari di Sentul. Udara dan lingkungannya sayang banget untuk dilewatkan dengan tidak jogging. Gue, si yang jarang lari tapi seringnya gym dan yoga, ngide lari pagi. Gue sadar gue gak bawa sepatu lari, cuma sepatu keds biasa. Setelah diingat lagi, tracknya juga jalan aspal yang naik turun. Memang tulang kering rasa-rasanya udah sakit dikit, mungkin karena ngerem-ngerem kalau jalanan turunan.
Kamis, 18 Januari
Gym sama PT latihan kaki. Ada satu latihan leg curl gitu, pas banget beban dan repetisinya dinaikin. Gak bermasalah sama sekali waktu itu. Semua berjalan normal.
Sabtu, 20 Januari
Mulai nyeri-nyeri kaki, jalan harus diseret, dan kaki agak ruam sedikit.
Minggu, 21 Januari
Literally gak bisa jalan. Jalan 2–3 langkah ke kamar mandi aja sakitnya sampai mau nangis-nangis. Inisiatif buat panggil fisio ke rumah. Namuuun, salah juga sih kenapa langsung panggil fisio. Kayanya kurang tepat deh. Hari-hari berikutnya gue bener-bener ga bisa jalan sampai sewa kursi roda cuma buat bergerak di lantai atas.
Kamis, 25 Januari
Ke dokter, akhirnya. Rontgen. Gak ada fraktur di tulang kering, tapi memang ototnya spraint. Dokter bilang overuse dan satu-satunya cara untuk pulih adalah dengan istirahat. Gak ada tu jalan pintas biar cepetan dikit. Ahirnya gue minum obat anti nyeri . Hari-hari ke depan jauh lebih baik. Belum bisa jalan, tapi paling gak, gak terlalu sakit.
Kamis, 1 Februari
Telapak kaki bengkak banget. Nah ini awal permasalahan baru. Bengkak ini diduga karena infeksi bakteri. Jadi dikasih antibiotik yang ternyata gue alergi. Sebadan-badan. Kayak campak. Ya Allah astagfirullah. WHYYYY.
Sabtu, 3 Februari
Kunjungan ke dokter lain, cari 2nd opinion: ini bengkak apa sih, ini gue alergi apaan, ini kenapa gak sembuh-sembuh. To be honest, dokter ini lebih bisa cerita dan menenangkan gue. Bengkak ini katanya ya karena gue terlalu lama bedrest. Since udah bisa jalan sedikit-sedikit, diperbanyak aja jalannya. Biar darahnya bisa ngalir dari kaki ke jantung. Antibiotik yang bikin alergi bener-bener distop, dan ga usah minum antibiotik. Fyuhhh…
Another side of story
Selama 14 hari di kamar, gue lebih sering sendirian. Kayaknya ini momen dimana gue lebih sering nangis dibanding momen-momen lainnya seumur hidup. Nangis karena emang nyeri banget, karena frustasi, karena capek, dan karena hopeless. Gue merasa gue kayak lagi ‘dikucilkan’ dari dunia untuk fighting sesuatu yang orang lain juga gue gak ngerti. Dunia luar berjalan terus padahal gue lagi ‘disuruh’ stuck’. 2024 baru mulai, makanya gue gak relate ketika orang ngomong “oh lo harus istirahat emang”, ya tapi hidup 2024 ini baru mulai, harusnya belum istirahat gak sih? ahaha
Mixed feelings. Di setiap kejadian gue sering bertanya, apa ya agenda belajar di balik ini? gue tuh harus belajar apa sih? Secara teknis, ok gak boleh olahraga berlebihan, pemanasan harus proper, pake sepatu yang bener, tapi ada yang lebih gak sih dari ini semua?
Gue belajar kalau emang time does heal. Gak ada yang bisa lo lakukan lagi untuk mempercepat prosesnya, lo cuma bisa melalui hari demi hari dengan sabar. Minum obat, kerja, makan, istirahat. Besok gitu lagi, besoknya gitu lagi. Gak ada pilihan lain, selain melaluinya. Ugh, hard. Dan emang kadang lo harus melaluinya sendirian.
Gue belajar juga untuk bisa mengkomunikasikan keterbatasan gue dengan siapapun. Bisa delegasi tugas dan percaya sama orang jadi penting banget. Mungkin yang lain liatnya gue agak semena-mena, tapi simply emang gue bener-bener ga bisa. Dan yang bikin happy, pelan-pelan ini udah mulai terlembagakan, gak heavily depend on 1 orang aja.
Besok umur gue 31 tahun. 14 hari ini kayak dipurifikasi, literally. Dikucilkan dari dunia luar, disuruh memproses semuanya internally, racun-racun dari badan keluar (karena alergi ini), dan… mungkin, mungkin memang gue lagi diselamatkan dari sesuatu dengan tidak dibikin berdaya untuk keluar-keluar, misalnya untuk ketemu orang yang seharusnya gak ketemu. Mungkin juga orang lain yang diselamatkan dengan tidak jadi ketemu gue. Gue percaya ada invisible hand yang mengatur timing, so gue sepenuhnya menyerahkan diri untuk nasib-nasib yang tidak ku ketahui.